TAK ADA yang menyangka, Abah Eddy yang dihormati di Jayanti, Tanggerang, adalah terpidana mati.

Suatu siang, beberapa orang pria bertamu ke rumahnya dan memperkenalkan diri sebagai orang Garut. Sebelum Abah Eddy menyadari apa yang terjadi, tangannya sudah diborgol. Usianya yang sudah 67 tahun, membuat Eddy pasrah dan berpikir kalau dirinya diculik dan akan dibunuh. Tetapi saat mobil yang membawanya berhenti di Lapas Militer Cimahi, Jawa Barat, barulah dia menyadari pelariannya selama 22 tahun, telah berakhir.

Abah Eddy, begitu warga mengenalnya, dianggap sebagai sesepuh, bahkan tokoh agama di kampungnya.

Ia baru sadar ternyata ia dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Militer (Lesmasmil) II Cimahi di Jalan Poncol, Baros, Cimahi Tengah, Kota Cimahi, Jawa Barat. Dia ditangkap tim Polisi Militer. Pelariannya selama 22 tahun hanya sampai di situ. Eddy adalah terpidana mati kasus perampokan gaji anggota Kodim 0608/Cianjur dan pembunuh keji pada 1979 silam.

Penangkapan oleh aparat Polisi Militer saat itu disebabkan oleh kecerobohan Eddy sendiri. Namanya tercantum dalam masthead Tabloid Alternatif dan koran Surya Pos Banten.

Ia tertulis sebagai penasihat dan pembina kedua media lokal itu dengan nama Maulana Eddy Sampak. Walau susunan namanya terbalik, aparat setempat curiga nama itu adalah Eddy Maulana Sampak. Saat melakukan kejahatan itu, Eddy merupakan anggota Kodim Cianjur dengan pangkat sersan mayor (serma).

Aksi perampokan itu menggegerkan masyarakat Cianjur. Hampir semua media massa di Bandung dan Jakarta menjadikan headline peristiwa itu, seperti koran Pikiran RakyatGala, dan Tempo.

Eddy Maulana Sampak bin Santika lahir di Serang, Banten, pada 1941. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB) di Rangkasbitung, Lebak, ia masuk menjadi tentara pada 1957. Sejak itu, Eddy ikut semua operasi militer besar di Indonesia.

Di antaranya, penumpasan pasukan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Penumpasan gerombolan komunis Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di Kalimantan Barat dan penumpasan G30S, serta operasi lainnya. Atas prestasinya itu, Eddy mendapatkan penghargaan dan kenaikan pangkat hingga menjadi sersan mayor.

Walau begitu, Eddy bercita-cita menjadi kepala desa di kampungnya Kebon Jeruk, Serang, pada 1967-1969. Namun usahanya itu gagal karena banyak warga yang tak menyukainya. Lalu ia kembali mencalonkan diri menjadi kepala desa di Nagrak, Cianjur, ketika berdinas di Koramil Karang Tengah, Cianjur, pada 1978. Ia meminjam uang Rp 3 juta kepada teman dan rentenir untuk memuluskan cita-citanya itu.

Baca Juga:  Anak Sungai di Desa Semaran, Sarolangun, Terancam Limbah Batu Bara dari PLTU PPE

Tapi kembali usahanya kandas. Ia kecewa berat karena sebelumnya amat yakin akan menang dan sudah membuat seragam kepala desa. Di sisi lain, ia dikejar teman dan rentenir yang menagih hutang.

Eddy Sampak semakin murka ketika Komandan Kodim Cianjur Letkol Kahyat menawarkan jabatan kepala desa sementara kepada Serma Sutaryat, temannya sendiri. Eddy curiga ada persekongkolan untuk menghalangi dirinya sebagai kepala desa.

Muncul tekadnya memberi pelajaran kepada tiga orang yang dianggap menyabotase pemilihan kepala desa, yaitu Serma Sutaryat, Letkol Kahyat, dan Bupati Cianjur Ajat Sudrajat.

Eddy merencanakan perampokan terhadap Serma Sutaryat, yang akan mencairkan cek pembayaran gaji anggota Kodim Cianjur. Ia menyusun rencana itu dan berusaha menyogok penjaga gudang senjata agar memberinya 200 butir peluru dan lima granat pada 6 Agustus 1979. Tapi penjaga menolak. Eddy pun akhirnya mencuri senjata dan peluru itu.

Eddy sempat mengajak beberapa penggarap sawah untuk merampok. Tapi hanya Ojeng bin Rojai (44) yang berminat.

Pada 20 Agustus 1979, Eddy dan Ojeng berangkat dari rumahnya berboncengan motor buatan Inggris, BSA 250 cc produksi 1950 bernomor polisi F-2933-C. Di punggung Ojeng menempel sebuah ransel milik Eddy yang sama sekali tidak ia ketahui isinya. Mereka berangkat menuju kantor Pemegang Kas Militer (Peskasmil) Kodim 0607/Sukabumi pukul 07.00 WIB.

Setiba di sana pukul 11.00 WIB, Eddy langsung mencari Serma Sutaryat. Yang dicari ternyata sudah berada di Bank Karya Pembangunan di Sukabumi. Infonya, Sutaryat akan menukarkan cek gaji bulanan anggota Kodim Cianjur. Mereka pun langsung menuju bank tersebut. Eddy bertemu dengan Sutaryat dan meminta lebih dulu gajinya.

Namun Serma Sutaryat keberatan memberikan uang gaji Eddy Sampak. Sebab, seluruh uang gaji mesti dilaporkan kepada atasan sebelum dibagikan. Cek gaji bulanan sebesar Rp 21.317.944 rencananya akan diberikan kepada seluruh pegawai melalui Peskasmil Kodim Sukabumi. Ojeng, yang menemani Eddy, berada di luar tak jauh dari bank, diberi uang untuk membeli 5 liter bensin.

Sementara itu, Serma Sutaryat, yang ditemani Serma Jujun, Karsip Daeng Rusmana, dan Koptu Sumpena, menuju kantor Kodim Sukabumi kembali. Eddy dan Ojeng membuntuti. Tapi sebelumnya, Eddy mengambil tas yang dititipkan di sebuah toko di Jalan Raya Ciaul. Tas itu berisi sangkur, golok kecil, sepucuk pistol FN 4,5 mm, senjata otomatis Carel Gustaf, 200 butir peluru, dan dua magasin.

Setiba di Kodim Sukabumi, Eddy langsung menemui Serma Sutaryat. Eddy mendapat penjelasan kembali perihal penolakan memberikan uang gaji. Namun, karena Eddy memaksa, Serma Sutaryat memberikan uang gaji Eddy. Setelah itu, Eddy dan Ojeng meninggalkan motor dan ikut bergabung bersama Serma Sutaryat dan rekannya untuk pulang ke Cianjur.

Baca Juga:  Jaga Perdamaian di Laut Mediterania, Satgas MTF Kontingen Garuda XXVIII-P UNIFIL Berangkatkan 120 Personel

Mereka menumpang sebuah mobil minibus Mitsubishi Colt bernopol D-5791-G yang disewa dari Iding bin Arsa (45) dan kernetnya bernama Ujang Sugandi. Selain mereka, ada dua orang sipil lainnya yang tak diketahui namanya yang menumpangmobil itu.

Eddy Sampak duduk di bangku paling belakang sebelah kanan bersebelahan dengan Ojeng. Di tengah diisi dua orang penumpang. Jok paling depan diisi oleh dua orang juga. Kendaraan pun penuh dan langsung tancap gas menuju Cianjur.

Sesampai di daerah Gekbrong, antara Sukabumi dan Cianjur, Eddy tiba-tiba menyuruh sopir keluar dari jalan besar menuju ke arah perkebunan teh Gedeh dan langsung menuju Kecamatan Cugenang.

Eddy mengutarakan hendak mengambil kambing untuk persiapan Lebaran. Di daerah Kebon Peuteuy, Gekbrong, ia meminta sopir melambatkan laju mobil. Sang sopir dan penumpang lainnya menurut saja. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga atas permintaan Eddy.

Tanpa basa-basi, Eddy mengeluarkan senjata api yang ia simpan di ranselnya. Sejurus kemudian, Eddy menembakkan senjatanya ke arah Karsip Jujun, yang duduk persis berada di depannya. Lalu Eddy menembak dari arah belakang ke arah Serma Sutaryat di depan. Dengan tenang Eddy menghabisi seluruh penumpang kecuali Ojeng. Kendaraan melaju tak terarah tanpa kendali.

Kemudian Colt yang mereka naiki berhenti dan mesinnya mati ketika menabrak tumpukan pasir. Dekat sebuah kebun bambu dan semak-semak. Sopir Iding melompat keluar dari pintu mobil.

Melihat Iding lari, Eddy memintanya berhenti. Iding terus berlari sampai akhirnya ditembak dari kejauhan. Iding tersungkur dan jatuh ke parit. Lalu mobil Colt itu dibakar Eddy.

Korban yang selamat adalah Koptu Sumpena. Ia mengalami luka tembak di bahunya. Ia diselamatkan warga dan langsung melapor ke Kodim Cianjur. Saat itu, warga Cianjur dan pihak Kodim pun geger. Tak berapa lama, dibentuk tim pemburu gabungan antara TNI dan Polri yang dibantu warga.

Eddy dan Ojeng sempat bersembunyi di hutan kawasan Gunung Gede. Empat hari kemudian, Ojeng ditangkap aparat keamanan pada 24 Agustus 1979. Dari tangan Ojeng disita uang Rp730 ribu dan Rp1,3 juta yang ditanam di sawah.

Operasi perburuan mencari Eddy Sampak terus dilakukan. Ia sempat mampir ke Desa Cibarebeg, tempat istri muda keempatnya bernama Mamah (15) tinggal. Kepada mertuanya, Bani, Eddy menitipkan uang Rp1,25 juta.

Baca Juga:  Sejumlah Keutamaan Hari Jumat, Waktu Terbaik untuk Perbanyak Doa

Eddy sempat dikepung di wilayah Pasir Datar, Sukabumi. Sempat terjadi kontak tembak yang menewaskan satu orang warga. Eddy pun mengalami luka tembak, tapi bisa melarikan diri.

Akhirnya pelariannya terhenti, Eddy Sampak ditangkap oleh tim pasukan Batalion 327/Brajawijaya di bawah pimpinan Sersan Mayor Sain, Cianjur, di daerah Desa Cigintung, Sumedang, pada 28 Agustus 1979 pukul 14.00 WIB. Dari tangan Eddy, tim ini berhasil menyita uang Rp3,75 juta. Setidaknya uang yang disita aparat keamanan saat itu lebih dari Rp20 juta.

Eddy Sampak lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer di Cimahi. Ia lalu diadili melalui sidang koneksitas di Pengadilan Militer II/09 Bandung pada 14 Mei 1981. Sidang itu dipimpin oleh Letkol CKH Edy Purnomo dibantu Letkol CHK Abdurauf dan Mayor Tituler Sakir Ardiwinata serta oditur militer Letkol CHK Wirdan Mulyoredjo. Sesuai keputusan pengadilan bernomor 57-58/MKH/PB/1981 tanggal 12 Juni 1981, Eddy Sampak divonis hukuman mati dan dipecat sebagai anggota TNI (dulu ABRI).

Sementara itu, Ojeng diganjar hukuman 12 tahun penjara dan Bani diganjar hukuman 4 bulan lebih. Vonis mati Eddy Sampak diperkuat oleh putusan di Mahkamah Militer Tinggi II Barat di Jakarta bernomor PTS-04/BDG/K-AD/ II BARAT/81/VI/1982 tanggal 2 Juni 1982 dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 7K/Mil./1983 tanggal 18 Juni 1983.

Di saat menjalani hukuman sambil menunggu waktu eksekusi mati di RTM Poncol, Baros, Cimahi, Eddy mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto.

Tapi Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya pada 18 Oktober 1984. Eddy marah, ia tak mau hidupnya berakhir di moncong senjata regu tembak. Pada 24 Desember 1984, Eddy berhasil meloloskan diri dari sel tahanan RTM Poncol, Baros, Cimahi. Ia sempat dinyatakan hilang. Sebelumnya, ia diketahui pulang ke Serang dan mendapatkan KTP palsu dengan nama Siddik.

Dengan bermodal KTP itu, ia melanglang buana dari Serang, Lampung, Palembang, Jambi, dan Bengkulu. Di kota-kota itu, ia menjalani berbagai profesi dari pedagang hingga menjadi ustaz. Beberapa tahun kemudian, ia kembali menemui istri ketiganya Saeti di Jayanti, Tangerang, hingga akhirnya ditangkap pada 2006.

Pada Agustus 2015, Eddy Sampak mengajukan kembali permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Tapi Jokowi menolak grasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 31/G Tahun 2015 tanggal 31 Agustus. Kini Eddy masih mendekam di Lapas Kelas I Cirebon.