REPORTASE NUSANTARA – Hari ini 10 November, Kota Surabaya luluh lantah. Kota Surabaya diserang dari berbagai arah, dari darat, laut, dan udara. Bak “neraka” perjuangan rakyat Surabaya 79 tahun lalu itu, berlangsung hampir tiga minggu lamanya.
Peperangan yang berakhir dengan ribuan korban jiwa dan hancurnya Kota Surabaya itu, membuat 20 ribu rakyat Surabaya menjadi korban dan 1.600 tentara Inggris tewas.
Salah satu tokoh yang berperan besar untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran itu adalah Bung Tomo. Lewat siaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Bung Tomo menginspirasi dan membakar semangat rakyat Surabaya untuk berjuang.
Selain itu, terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu. KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, serta para kiai dari pesantren lainnya juga mengerahkan para santrinya dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban saat itu, membuat Kota Surabaya dikenang sebagai Kota Pahlawan.
Puncak perlawanan rakyat Indonesia pada pertermpuran Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945, berawal darai datangnya pasukan sekutu yaitu tentara Inggris dan Belanda atau dikenal NICA yang mulai masuk ke Kota Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Tujuan semula sekutu datang untuk mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata Jepang. Namun, pada 27 Oktober 1945 tiba-tiba NICA yang dipimpin Brigadir Jendral Aulbertin Walter Sother Mallaby, langsung memasuki wilayah Surabaya dan mendirikan pos pertahanan.
Pasukan sekutu menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan Indonesia. Mereka memerintahkan agar masyarakat Indonesia menyerahkan senjata.
Namun, perintah ini dengan tegas ditolak Indonesia. Hingga pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia yang dipimpin Bung Tomo menyerang pos-pos pertahanan sekutu dan berhasil merebut tempat-tempat penting.
Meskipun terjadi gencatan senjata pada 29 Oktober, bentrokan-bentrokan bersenjata tetap berlangsung antara masyarakat Surabaya dan tentara Inggris. Puncak dari pertempuran ini yaitu terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945 dan hal ini membuat Inggris marah.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Sebagai tanggapan, Inggris mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945 oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh yang menggantikan Jenderal Mallaby. Ultimatum tersebut isinya antara lain:
- Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri.
- Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris.
- Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan dan bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Jenderal Eric juga yang meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara Inggris. Jika tidak menaati perintahnya, tentara AFNEI dan administrasi NICA mengacam untuk menggempur Kota Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Namun, ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan segenap rakyat, sehingga Inggris menyerang Kota Surabaya dari berbagai arah dengan kekuatan darat, laut, udara dan membuat pecahnya pertempuran terbesar di Surabaya pada 10 November 1945.
Hari ini 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan para pahlawan dan pejuang untuk mengusir Inggris. Penetapan tersebut tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Sejak saat itu, Hari Pahlawan diperingati pada tanggal 10 November dan Kota Surabaya menjadi kenangan sebagai Kota Pahlawan.(*)